Minggu, 19 Desember 2010

KRL = Kereta Rajin Lebai

Kalau kerumunan massa di sekitar stadion olah raga saat pertandingan bola digambarkan sebagai semangat besar, dukungan tanpa syarat pada PSSI, yang terjadi sebaliknya pada kerumunan di stasiun kereta api Jakarta-Bogor bolak-balik. Kerumunan penumpang Kereta Rel Listrik, KRL, yang terbengkalai dan telantar dianggap wajar dan sudah biasa terjadi. Inilah susahnya menjadi rakyat miskin atau pas-pasan. Nasibnya pun terabaikan.

Satu pesawat terbang nyungsep atau patah roda saja beritanya ke mana-mana. Lima hari rangkaian kereta amburadul tak membuat masygul para petinggi kita. Bahkan jawaban yang terdengar adalah ada kendala, tak tahu kapan normalnya. Malah saran aneh: pilih saja kendaraan lain. Jumlah penumpang KRL yang terganggu jumlahnya lebih banyak dari yang menonton pertandingan semifi nal piala AFF. Nasib mereka lebih terganggu lagi karena berhubungan dengan berangkat dan pulang kerja.

Bukan mau menonton bola, yang artinya bersenang-senang dan menghibur diri. Inilah nasib kereta api kita, yang terbaca dengan jelas dari KRL yang pernah menjadi terobosan sebagai kendaraan komuter yang diresmikan Presiden Soeharto waktu itu. Keberadaan tak terperhatikan, dan yaaaa…itu tadi. Keruwetan di kereta api, baik jadwal berangkat maupun tiba, baik kondisi tempat duduk maupun tempat berdiri, baik bau toilet maupun keringat, baik penumpang di atap maupun di loko, masih akan selalu begitu.

Pemandangan pilu karena tak ada yang peduli faktor keamanan, apalagi kenyamanan. Semakin pilu karena terus terjadi setiap hari. Makin pilu lagi ketika terjadi kecelakaan, pegawai lapangan yang disalahkan. Maka, sungguh ajaib dan mengherankan bahwa para penumpang kereta api—juga termasuk petugasnya— dibiarkan terus-menerus seperti ini. Tak pernah ada terobosan, apalagi perbaikan secara menyeluruh.

Padahal pemerintah seharusnya sadar sepenuhnya pentingnya peran kereta besi yang dibangun sejak zaman penjajahan. Kasarnya, kita tinggal mengoperasikan saja. Maka, sekali lagi, sungguh ajib, bahwa pembiaran ini terus terjadi dan menganggap tak ada persoalan. Semakin hari, bukannya menjadi lebih baik, melainkan sebaliknya. Secara pribadi saya pernah merasakan nikmatnya ketika bermukim di Depok Baru yang bisa terhubung ke Stasiun Gambir kala itu. Tetapi tidak sekarang ini.

Padahal penggunanya makin bertambah, dari berbagai jurusan. Menurut catatan, ada sekitar 4 juta penduduk yang harus pulang-balik ke Jakarta. Suatu jumlah yang kelewat besar, dan potensi ekonomi yang menjanjikan. Namun nasibnya kok serbasengsara—baik yang membayar tiket maupun yang menerima uang penjualan tiket. Kadang saya membayangkan kereta api yang ramah—yang tidak rajin terlambat secara lebai, berlebihan.

Yang jelas jadwalnya. Yang jelas kapan terlambat di mana dan kenapa. Ini bukan sesuatu yang berlebihan karena teknologi memungkinkan dan sangat mudah diaplikasikan. Yang jelas berapa tiket yang terjual dan berapa jumlah tempat duduk. Yang toiletnya nyaman digunakan, baik di stasiun maupun di dalam kereta. Yang petugasnya jelas dan tegas.

Yang… semua ini bukan sesuatu yang memerlukan perencaaan besar atau biaya besar. Ini semata-mata dimotori keinginan memberikan pelayanan yang baik. Yang standar karena penumpang juga membayar. Tapi, keadaan seperti itu ternyata tak kunjung tiba. Kemauan seperti itu tak terlihat, selain malah makin terlambat dari yang kemarin.

Batalnya 43 perjalanan KRL—kali berapa gerbong, kali berapa penumpang, kali berapa hari—hanyalah angka yang akan menguap begitu saja. Toh masih akan terjadi lagi. Toh tak bisa dibenahi. Inilah yang lebih menyesakkan dada dibandingkan dengan berdesakan di dalam kereta. Inilah yang menghabiskan kesabaran dan rasa peduli. Padahal pemerintah bertanggung jawab penuh karena memonopoli pengelolaan.

Padahal para penumpang adalah jumlah besar yang bisa mengerti dan menjadi kekuatan politik penyokong—dikaitkan dengan pencabutan subsidi BBM, kalau arahnya perbaikan ini. Begitu banyak alasan untuk perbaikan, namun tak ada yang memulai. Agaknya inilah nasib penumpang kereta api yang hanya bisa bersabar. Dan kalau sabar adalah tiket ke surga, para penumpang kereta api kita telah memiliki sejak pertama, sejak lama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar